Minggu, 26 September 2010

ISLAM ADALAH DAMAI



TOLERANSI ISLAM





                         
                                                           
Doktrin modern sering mengatakan bahwa perbedaan-perbedaan manusia adalah sesuai dengan kehendak Tuhan dan tidak bertentangan dengan prinsip kesatuan eksistensial, karena masyarakat yang berbeda-beda itu, disebabkan oleh kebutuhan yang wajar untuk saling bersandar, menemukan diri mereka dalam suatu kesatuan yang homogen pada tingkat universal. islam secara kolektif dan seorang mukmin secara pribadi – harus bertindak semacam itu, tiak hanya bersikap toleran tetapi juga bersikap hormat terhadap bermacam-macam bangsa, seperti yang tertera dalam Alquran “Katakanlah: Hai orang-orang yang tidak percaya…bagi kamu agama kamu, bagiku agamaku.” Hanya Tuhan yang akan menghukum kekufuran.


Istilah “toleransi” mungkin membawakan arti “pejoratif” (yang mengandung celaan), jika dipakai dalam bahasa moral dan politik di Eropa yang baru keluar dari perang agama. Musuh atau orang kafir ditolerir, karena satu sebab yang pokok, yaitu karena orang tak dapat menghapuskan kekuuran. Dalam arti yang lebih modern toleransi berarti suatu sikap mental atau aturan bertindak yang terdiri dari mencegah paksaan terhadap mereka yang tidak sepaham atau sekeyakinan. Toleransi bukannya indifference (masa bodoh) karena toleransi tidak mengandung arti sikap tidak mau mengutarakan pendapat atau mempertahankannya tanda kekerasan. Toleransi juga berarti sikap hormat seseorang terhadap suatu ide yang ia tidak setujui dengan menganggapnya sebagai suatu sumbangan terhadap kebenaran yang mutlak.

Dalam arti ini, kita perlu mengakui bahwa 
islam itu toleran dalam bidang agama, bahkan lebih dari itu, karena islam mengakui dan melindungi pengikut agama-agama monotheis yang sebelumnya. Akhirnya dalam pandangan politik dan sejarah, meskipun ada desakan-desakan ekonomi atau administrative, negara islam selalu menunjukkan rasa hormat yang besar terhadap Ahli Kitab yang dibolehkan menetap di daerahnya. islam memelihara lembaga-lembaga administrative, kegerejaan dan kehakiman yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. islam tidak memaksakan kepada bangsa-bangasa yang kalah sesuatu larangan yang islam sendiri menganggapnya sebagai perintah yang datang dari Tuhan. Toleransi islam adalah sikap hormat kepada orang yang bukan muslim, keadilan dan kemauan Tuhan. Sikap toleransi islam yang memaksakan memberi suatu dimensi khusus yang memungkinkan hubungan dengan arti yang lebih luas. Toleransi islam mendapat inspirasi dari seseorang yang mempertahankan suatu ide yang ia sendiri tidak setuju; ini tidak berarti menerima sesuatu ide yang harus ditolak oleh Alquran yang selalu menolak kekeliruan dan kepalsuan yang dimasukkan oleh Ahli Kitab dalam kitab suci mereka; Alquran melarang orang-rang mukmin memaki orang-orang musyrik. Sikap hormat itu ditujukan kepada orangnya, bukan kepada pendapatnya.

Pada waktu ekslusivisme dan intoleransi masih merupakan sifat-sifat negara di Barat yang beragama Masehi, dan tetap begitu selama beberapa abad, imperium Islam telah menerima masyarakat non Islam yang kuat, dan melindungi dengan perjanjian-perjanjian yang tidak dapat ditentang. Pendekatan antara orang-orang Muslim, orang-orang masehi dan orang-orang Yahudi menimbulkan suasanan persahabatan yang tak pernah terjadi sebelumnya disekitar Lautan Tengah. Orisinalitas politik-yuridis sistem islam timbul dari watak Islam itu sendiri yang istimewa. Dengan menolak kenabian Muhammad, orang-orang monoteis telah mengeluarkan diri mereka sendiri dari negara Islam. Prinsip personalisasi hukum telah memungkinkan mereka untuk mempertahankan lembaga-lembaga mereka dalam batas bahwa lembaga-lembaga tersebut tidak merugikan kepentingan dan keselamatan Islam.

Kebijaksanaan sistem islam hancur setahap demi setahap bersamaan dengan perubahan struktural dan kelembagaan kekuasaan Islam, dan juga karena desakan imperialisme Eropa. Status orang-orang “yang dilindungi” telah hilang karena perubahan-perubahan dalam sejarah modern. Kita tidak tahu dengan pasti apakah sistem tersebut dapat diganti dengan lembaga yang lebih baik. Ide-ide modern tentang demokrasi pluralis yang biasanya bersifat utopis, lebih memuaskan dan lebih sesuai dengan konsepsi etika modern. Meskipun begitu dalam pandangan yang realis kita perlu menyatakan konstatasi kita bahwa bermacam-macam system yang diusulkan untuk menghormati minoritas hanya dapat memberi sedikit jaminan efektif. Sejarah yang paling terakhir ada di depan kita untuk memperingatkan kita semua.


Walaupun telah terjadi perubahan-perubahan besar dalam sejarah, kaidah 
Alquran telah dapat menetapkan suatu toleransi yang sampai sekarang tetap di hormati dalam beberapa system sosial politik. Kaidah Alquran telah menetapkan kualitas kemanusiaan dari orang-orang yang tidak ikut dalam ikatan masyarakat yang bersifat mistik dan yuridis semenjak abad VII M. sebaliknya kita dapat mengatakan bahwa doktrin kontemporer hukum internasional masih sedang mencari “status minime” untuk orang asing.

Penjelasan tentang norma-norma yang bersifat langgeng (eternal) dan uraian teroritis tentang lembaga-lembaga yang tak terdapat kecuali dalam pemikiran-pemikiran akidah akan nampak secara wajar sebagai suatu hal yang tak dapat dipakai dan usang dalam pandangan mengamat asing yang kurang mendapat penerangan. Sebaliknya bagi orang-orang muslim, aksioma yang berasal dari 
Alquran akan tetap berharga selama-lamanya, karena dalam wahyu ilahi tak ada ide “modern” atau “kuno”. Yang ada hanya prinsip yang benar dan adil secara mutlak. Tujuan kami bukan untuk menilai tetapi unuk menunjukkan dengan referensi-referensi yang singkat bahwa Islam, sebelum peradaban atau agama yang lain apapun, telah menetapkan secara agung, kewajiban menghormati pribadi manusia, dalam suatu masyarakat persamaan untuk mencai keadilan sebaik mungkin di bawah petunjuk suatu hukum transendental. Nilai-nilai yang tersebut dalam Alquran akan tetap tak berubah dan dapat berpartisipasi, sampai saat inipun, dalam membentuak suatu dunia yang lebih manusiawi.

Sumber: Prof. Dr. Marce; A. Boisard, Humanisme Dalam Islam, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1980) cet-1, Hal.223-226.